Reno Fernandes Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI Cab Padang
Era reformasi yang telah digulirkan sejak tahun 1998, disepakati sebagai momentum peralihan dari kekuasaan otoriter kepada kekuasaan demokratis dalam perjalanan sejarah bangsa. Ciri dari sebuah negara demokrasi adalah adanya jaminan terhadap partisipasi politik masyarakat, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi. Bila suatu negara membatasi akses dan keterlibatan warganya dalam setiap pengambilan keputusan, maka demokrasinya belum dapat dikatakan berkembang secara baik. Adanya kebebasan rakyat dalam menjalankan partisipasi politik menjadi ukuran terpenting, untuk melihat eksistensi demokrasi dalam suatu negara. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berupaya untuk memberikan wadah seluas-luasnya kepada rakyat untuk turut berpartisipasi atau ikut serta secara politik dalam penyelenggaraan pemerintahan (Justian Suhandinata,2009). Partisipasi politik adalah hak seluruh masyarakat, tidak terkecuali pada etnis Tionghoa di Indonesia. Partisipasi politik etnis ini terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. ini terbukti pada pemilu legislatif 1999 tercatat 150 orang caleg berasal dari etnis Tionghoa, sedangkan pada pemilu legislatif tahun 2004 tercatat lebih dari 200 orang yang mencalonkan diri. Pada pemilu legislatif terakhir di era reformasi, jumlah etnis Tionghoa yang mencalonkan diri menjadi anggota legislati mengalami peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebanyak 213 orang di seluruh Indonesia (www.jawapos.co.id)
Era Sulit sampai Keterbukaan Celah Politik Gambaran di atas jelas merupakan perkembangan menggembirakan. Pasalnya, pasca tragedi 1965, etnis Tionghoa memasuki era pemasungan politik sehingga mereka hanya berkutat di bidang ekonomi. Etnis Tionghoa pun tenggelam di dalam kancah perpolitikan Indonesia seiring dengan kebijakan Orde Baru (Orba) yang menggiring etnis Tionghoa menjauh dari arena politik.
Masa rezim Orba merupakan era paling sulit bagi etnis Tionghoa. Berbagai regulasi dibuat Orba untuk meminggirkan etnis ini dari ranah sosial politik, di antaranya (1) SE 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988 mengenai Larangan Penerbitan dan Percetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina; (2) Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama,Kepercayaan dan Adat-istiadat Cina; (3) Instruksi Mendagri No 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng; (4) SE Presidium Kabinet RI No SE-06/ Pres-Kab/6/1967 mengenai Penggantian Istilah Tiongkok dan Tionghoa Menjadi Cina; (5) Instruksi Presiden No 37/U/ IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina (BK MC); (6) Kep Presidium No. 127/U/ Kep/ 12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama bagi WNI Memakai Nama Cina. Menjelang jatuhnya rezim Soeharto, etnis Tionghoa juga masih harus menjadi tumbal, seperti terjadi dalam Tragedi 13–15 Mei 1998 atau biasa disebut dengan Tragedi mei kelabu yang semua itu tentunya menyisakan trauma mendalam bagi sebagian etnis ini. Hal inilah yang menjadi penyebab etnis Tionghoa memilih untuk tidak terlibat pada ranah politik praktis dan hanya berkosentrasi di bidang perekonomian. Trauma pada dunia politik itu pelan-pelan mulai sembuh, hal ini tentu tidak lepas dari gerakan Reformasi yang telah melahirkan banyak perubahan pada sistem pemerintahan. Peraturan-peraturan pemerintah yang di keluarkan pasca reformasi menimbulkan iklim yang bebas dan kondusif sehingga etnis Tionghoa mulai tertarik lagi pada politik praktis. Iklim yang bebas dan kondusif itu bahkan sudah dilengkapi dengan jaminan konstitusional akan kesetaraan antarwarga sehingga tidak ada lagi sekat-sekat antara pribumi dan nonpribumi. Hal Ini tampak dari lahirnya UU Kewarganegaraan No 12/2006 yang disahkan Presiden pada 1 Agustus 2006 dan lahir UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik (disahkan DPR pada 27 Oktober 2008).
Partisipasi Politik Lokal Sumatera Barat Keterlibatan etnis Tionghoa pada ranah politik di Sumatera Barat juga sudah dimulai sejak tahun 1999 hal ini ditandai dengan adanya anggota DPR RI dari masyarakat etnis Tionghoa Kota Padang, dari tahun ketahun keterlibatan etnis Tionghoa pada Ranah Politik Praktis semakin meningkat yaitu pada penyelenggaraan pemilu 2004 ada 8 (delapan) orang etnis Tionghoa yang mencalonkan diri menjadi anggota DPRD kota Padang maupun DPRD Sumatera Barat namun yang berhasil duduk di Parlemen hanya 1 orang yaitu di DPRD Kota Padang. Partisipasi politik etnis Tionghoa ini terus mengalami peningkatan dan memperlihatkan eksistensinya pada pemilu 2009. Caleg dari etnis Tionghoa terus bertambah menjadi 9 ( sembilan) orang. Caleg-caleg yang bertarung pada pemilu ini berada pada tingkat pencalonan yang lebih komplit yaitu: DPR RI, DPRD Sumatera Barat dan DPRD Kota Padang. Jumlah caleg yang meraih kursi di Parlemen juga mengalami peningkatan pada pemilu ini 2 kursi di DPRD Kota Padang berhasil di duduki oleh para caleg ini. Jika partisipasi etnis Tionghoa di Sumatera Barat baru terlihat pada pada pemilu legislatif, kita juga merindukan adanya masyarakat etnis Tionghoa yang mencalonkankan diri pada pemilu eksekutif atau pada Pemilu Kada 2010 ini.
|